Babad Godog


Naskah ini berisi cerita tentang kisah seorang tokoh yang bernama Keyan Santang: putra Raja Padjajaran Sewu. Prabu Siliwangi, yang gagah perkasa kemudian masuk Islam. Ia menyebarkan agama baru yang dianutnya itu di Pulau Jawa dan menetap di Godog. Suci Kecamatan Karangpawitan Garut sampai akhir hayatnya. Nama-nama lain yang disandang tokoh itu adalah Gagak Lumayung, Garantang Sentra. Pangeran Gagak Lumiring. Sunan Rakhmat, dan Sunan Bidayah.

 
Pada suatu hari Keyan Santang berdatang sembah kepada ayahandanya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yakni hasrat hatinya untuk dapat melihat darah sendiri. Kemudian baginda memanggil para ahli nujum untuk menanyakan siapa gerangan orang yang sanggup memenuhi keinginan Keyan Santang seperti yang diucapkannya tadi. Para ahli nuhum tidak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan raja. Tetapi kemudian seorang kakek yang sudah tua renta dating menghadap baginda raja dan berkata. “ Daulat tuanku, hamba hendak menghabarkan kepada tuanku bahwa sebenarnya ada orang yang dapat memperlihatkan darah raja putra itu. Ialah Baginda Ali di Mekah.”
Prabu Siliwangi bertanya,”Siapa kiranya yang akan unggul  bila anakku bertarung dengan dia?” Selesai pertanyaan itu diucapkan, maka tanpa memperlihatkan jawaban kakek itu pun lenyap dari pandangan. Menurut yang empunya cerita, kakek itu tak lain adalah Malaikat Jibril.
Nama Baginda Ali terkesan pada hati Keyan Santang. Sekarang ia ingin mencari orang yang memiliki nama itu ke Mekah. Setelah meminta izin dari Prabu Siliwangi dan menyetujuinya untuk berangkat, maka Keyan Santang terbang. Namun ia belum tahu jalan ke Mekah. Baru saja ia tinggal landas, di atasnya terdengar suara tanpa wujud sumbernya, “Engkau bernama Geranta Sentra!”
Setelah itu tampak olehnya seorang putrid yang sangat cantik turun dari langit. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan putrid itu. Kemudian putrid itu minta kepada Keyan Santang agar diambilkan bintang-bintang dari langit. Setelah selesai mengucapkan permintaannya itu , maka hilanglah putri itu. Ingin memnuhi permintaan sang putrid, Keyan Santang bertambah tinggi terbangnya, Ia bermaksud akan memtik bintang. Tetapi malah bintang itu berterbangan jauh ke langit. Keyan Santang tidak putus asa, ia terus mengejar bintang itu hingga akhirnya ia sampai di atas Mekah. Karena Keyan santang demikian bernafsunya ia ingin dapat menangkap salah satu bintang, maka langit di atas Mekah pun menjadi hangar binger. Suara gaduh itu terdengar oleh Kanjeng Nabi Muhamad. Beliau ingin mengetahui apa yang terjadi, maka disuruhlah baginda Ali untuk melihat keadaan langit. Tak lama kemudian bertemulah Baginda Ali dengan Keyan Santang. Terjadilah percakapan antara mereka. Kata Baginda Ali ,”Kau dapat mengambil bintang, asal kau tahu dahulu mantranya. “Keyan Santang menanyakan bagaimana bunyi mantra itu. Kemudian Baginda Ali mengucapkan mantra yang berbunyi. “Allohusoli ala nu dimakbul Sayidina Muhammad”. Setelah Keyan Santang mengucapkan mantra itu, ia dapat menangkap bintang dari langit. Ternyata bintang itu berupa untaian tasbih.
Diketahui akhirnya oleh putra raja Padjadjaran itu bahwa yang mengajarkan mantra itu adalah baginda Ali yang tengah dicarinya. Timbul keinginan Keyan Santang untuk mengajak bertarung dengan Baginda Ali. Tetapi Baginda Ali sudah tidak ada. Keyan Santang hanya bertemu dengan seorang tua bangka yang sedang membawa tungked (tongkat) dan tiang mesjid. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan orang tua itu . Keyan Santang mencaoba untuk mencabut tongkat yang ditancapkan oleh orang tua tadi, tetapi tidak berhasil.
Setelah diketahui bahwa orang tua itu tidak lain adalah Baginda Ali, maka Keyan Santang pun menyatakan takluk dan kemudia mau memeluk agama Islam. Keyan Santang berganti nama menjadi Sunan Rakhmat atau Sunan Bidayah. Ia diangkat sebagai sahabat Nabi.
Setelah bukti-bukti lengkap bahwa Keyan Santang telah diangkat sebagai wakil Nabi di Pulau Jawa dan bertugas menyebarkana gama Islam. Prabu Siliwangi menolak bahkan tidak mau memeluk agama Islam. Kemudian dengan jalan menembus bumi raja Padjadjaran itu pergi dari Padjadjaran Sewu. Sementara itu para bangsawan Padjadjaran bersalin rupa menjadi bermacam-macam jenis harimau. Sedangkan keratin serta merta berubah menjadi hutan belantara. Konon harimau-harimau itu menju hutan Sancang mengikuti Prabu Siliwangi.
Sementara itu Sunan Rahkmat mengIslamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Fogdog, Curug Sempur, dan Padusunan. Sewaktu itu Tambakbaya. Sunan Rakhmat kawin dengan Nyi Puger Wangi yang berasal dari Puger. Dari Puger Wangi Sunan Rakhmat mempunyai anak kembar, kedua-duanya laki-laki, kakaknya bernama Ali Muhammad dan adiknya Pangeran Ali Akbar. Sayang sekali tak lama kemudian setelah melahirkan Nyi Puger Wangi meninggal dunia.
Dalam kesedihan karena ditinggal istri, Sunan Rakhmat terus menyiarkan agama Islam di Karang Serang, Cilageni, Dayeuh Handap, dayeuh Manggung, Cimalati, Cisieur, Cikupa, Cikaso, Pagaden, Haur Panggung, Cilolohan, warung Manuk, Kadeunghalang, dan Cihaurbeuti. Pada suatu saat pernah pula Sunan Rakhmat berangkat lagi ke Mekah menemui Nabi Muhammad. Waktu akan pulang lagi ke Jawa, Sunan Rakhmat dibekali tanah Mekah yang dimasukan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah buli-buli berisi air zam-zam. Selain itu
Sunan Rakhmat diberi hadiah kuda Sembrani oleh ratu Jin dan Jabalkop. Pesan Nabi Muhammad kepad Sunan Rkhmat ialah bila peti itu gesah (bergoyang) di suatu tempat di Pulau Jawa, maka itulah tandanya Sunan Rakhmat mesti berhenti. Di sanalah ia mesti bermukim. Adapun menurut yang empunya cerita, tempat bergoyangnya peti itu di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rakhmat yang nama aslinya Keyan Satang dimakamkan di Godog. Karangpawitan Garut.

Nama pemegang naskah : Encon
Tempat naskah : Desa Cangkuang Kec. Leles
Asal naskah : pemberian
Ukuran naskah : 16 x 20.5 cm
Ruang tulisan : 15 x 18 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 71 Halaman
Jumlah baris per halaman : 15 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 15 dan 13 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas daluang
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : coklat kekuning-kuningan
Keadaan kertas : agak tebal
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi (tembang)